Overfishing yang
berkaitan dengan dampak sejalan penangkapan (collateral impacts) dikenal
dalam tiga bentuk, yaitu bentuk pertama adalah growth overfishing,
terjadi ketika ikan ditangkap sebelum sempat tumbuh. Bentuk kedua yang dikenal
dengan recruitment overfishing yang menyebabkan pengurangan
banyaknya ikan muda yang memasuki daerah penangkapan. Recruitment
overfishing dapat dihasilkan oleh 1) penurunan stok induk pemijah, yang
menyebabkan jumlah telur yang dihasilkan semakin terbatas dan kemudian
peremajaan; dan 2) akibat degradasi habitat yang mempengaruhi kawasan asuhan.
Ketiga economic overfishing dan maximum sustainable yield yang
diturunkan dari model produksi surplus (Schaefer dan Fox). Economic
overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan melewati maksimum
imbalan ekonomi (maximum economic yield). Pada model surplus
produksi tidak membedakan antara growth dan recruitment overfishing
tetapi lebih merupakan gabungan kedua proses tersebut ke dalam satu
kategori biological overfishing secaraumum (Pauly, 1988)
Permasalahan perikanan seperti overfishing yang lainnya disebabkan oleh
tindakan illegal, unreported, unregulated fishing (IUU Fishing) makin
marak terjadi di laut Indonesia. Penangkapan secara ilegal menjadi penyebab
utama terjadinya overfishing dan berkurangnya populasi ikan khususnya
tuna di Indonesia. Laut Aceh dan Natuna menjadi area yang sering didatangi oleh
nelayan asing, pada tahun 2014 sebuah kapal berbendera Thailand tertangkap
mencuri ikan di laut Aceh. Selain mencuri ikan, nelayan asing itu juga merusak
terumbu karang karena menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Permasalahan yang memicu overfishing ini seperti yang dikatakan Eckersley dalam Green Theory bahwa sifat manusia cenderung anthropocentric yaitu memberikan dampak kerusakan pada lingkungan dan dampak negatif bagi makhluk hidup lainnya karena cenderung dan berlebihan terhadap alam. Sifat manusia yang anthropocentric dengan melakukan illegal fishing, pelaku industri perikanan menjalankan perusahaannya dengan tidak bertanggung jawab dan tidak ramah lingkungan serta regulasi yang mendukung untuk terus mengeruk kekayaan alam menunjukan saat ini pemanfaatan lingkungan masih tertuju pada kepentingan manusia (human-centered) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mencari keuntungan dari alam. Jika pola seperti ini terus terjadi maka dunia dan negara-negara sepenuhnya tidak dapat menyelesaikan masalah ini dan bumi serta kekayaan alamnya akan rusak dan habis.
Untuk
mengatasi hasil tangkapan yang cenderung mengalami penurunan dilakukan
upaya-upaya pemulihan sumberdaya perikanan, antara lain :
1. Penyuluhan
tentang :
a. Kondisi
sumberdaya yang ada
b. Jumlah
alat tangkap optimum
c. Akan
adanya over fishing.
2. Sosialisasi
kegiatan-kegiatan pelestarian sumberdaya, melalui :
a. Diversifikasi
jenis alat tangkap dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.
b. Pembatasan
waktu penangkapan ikan agar memberi kesempatan pada ikan untuk melakukan
pemijahan
c. Zonasi
wilayah penangkapan yang mengalami over fishing
Usaha-usaha
yang diperlukan dalam pemulihan sumberdaya perikanan yang telah mengalami lebih
tangkap (over fishing) ataupun kerusakan sumberdaya akibat pengelolaan
yang tidak berwawasan lingkungan dapat dilakukan sesuai pendapat Nikijuluw
(2002) yang menyatakan bahwa dalam pemulihan sumberdaya perikanan, usaha-usaha
yang dapat dilakukan, antara
lain
:
1.
Penutupan musim penangkapan ikan
2.
Penutupan daerah penangkapan ikan
3.
Selektifitas alat tangkap ikan
4.
Pelarangan alat tangkap ikan
5.
Pengendalian upaya penangkapan ikan.
MCS
(Monitoring, Control and Surveillance)
aktivitas-aktivitas overfishing dapat menimbulkan
deplesi/penyusutan sumberdaya biota laut, merusak ekosistem daerah tangkapan,
mengancam konservasi serta mengganggu keseimbangan ekologi laut, untuk itu
diperlukan solusi yang tepat agar dapat melakukan mitigasi dan minimisasi
dampak dari aktivitas pemancingan yang berlebihan tersebut.
Petrossian (2015) menyatakan bahwa kapasitas MCS
(Monitoring, Control and Surveillance) dan pengawasan yang ketat merupakan
variabel penting dalam mengendalikan tingkat IUU (Illegal, Unreported and
Unregulated) fishing yang terjadi di perairan suatu negara. MCS adalah semua
ketentuan yang harus dipenuhi terkait langkah-langkah dalam pengelolaan
perikanan dimana masing-masing elemen memiliki tujuan sebagai berikut: (1)
pemantauan (monitoring) untuk mengumpulkan informasi tentang perikanan yang
berguna dalam proses pengembangan selanjutnya, (2) controlling untuk menilai
langkah-langkah pengelolaan yang tepat, dan (3) dengan memanfaatkan informasi
yang diperoleh dilakukan pengawasan (surveillace) untuk memastikan agar kontrol
ini dapat dipatuhi. Manajemen perikanan modern diharapkan dapat menempatkan
strategi, perencanaan dan aktivitas MCS pada tempat yang lebih sentral dan
terintegrasi pada seluruh bagian manajemen perikanan.
Selain memperkuat MCS nasional, Johns (2013)
menyatakan bahwa rencana aksi satu negara (aksi regional) tidak mencukupi untuk
memperbaiki IUU fishing, sehingga diperlukan 'coordinated regional action'
dengan dukungan pembangunan berkapasitas internasional. Terkait dengan
'coordinated regional action', saat ini telah terbentuk aliansi regional maupun
internasional (seperti ASEAN-Wildlife Enforcement Network dan Regional Plan of
Action (RPOA-IUU) di Asia Tenggara).
Paradigma regulasi pluralistik tersebut dapat memanfaatkan keterkaitan IUU fishing dan aktivitas kriminal transnasional untuk mencapai hasil positif yang berlipat (Lindley dan Techera, 2017). Khusus di wilayah Indonesia, telah disusun suatu Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2016-2020.
Seafood
Savers
Dalam upayanya agar
perikanan di Indonesia yang berkelanjutan dan mencegah terus berkurangnya
populasi ikan tuna dari kepunahan WWF membuat sebuah program kerja yang bernama
Seafood Savers. Program ini secara garis besar memiliki kegiatan
memberikan asistensi kepada perusahaan dan nelayan agar menjalankan aktivitas
industrinya bertanggung jawab dan ramah lingkungan, mengadvokasi kepada
pemerintah terkait regulasi yang tidak merugikan alam dan memberikan edukasi
kepada konsumen agar memilih produk perikanan yang baik
Selaras dengan
pemahaman Green Theory bahwa dalam menyelesaikan masalah lingkungan ini
negara bukan hanya satu-satunya aktor yang berpengaruh tetapi aktor lain
seperti organisasi juga dapat berperan, dalam kasus ini contohnya adalah
WWF-Indonesia. Green Theory berorientasi pada upaya desentralisasi
mengutamakan aksi lokal daripada internasional “Think Globally and Act
Locally” agar dapat lebih efektif dan efisien dalam menangani kerusakan
lingkungan.
Mewujudkan kegiatan perikanan berkelanjutan di
Indonesia adalah: 1) pengelolaan perikanan (fisheries management); 2) penegakan
hukum (law enforcement); dan 3) pelaku usaha perikanan perikanan tangkap,
banyak perairan laut di kawasan barat dan tengah Indonesia sudah menunjukkan
gejala padat tangkap (overfishing), seperti Selat Malaka, perairan timur
Sumatera, Laut Jawa, dan Selat Bali. Sementara, di perairan laut kawasan timur
Indonesia, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau masih
underfishing
Untuk mengetahui akar permasalahan yang menghambat
dalam mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan, maka dilakukan analisis
berdasarkan sebab akibat dengan menggunakan diagram tulang ikan (fish-bone
diagram). Diagram tersebut dianalisis berdasarkan hasil desk study, diskusi
intensif dengan para pemangku kepentingan terkait (seperti: Kepala Pelabuhan
Perikanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Kepala PSDKP di lokasi
survei) dengan panduan kuisioner dan kunjungan lapangan.
Penegakan Kebijakan
Manipulasi ukuran tonage (GT) dan perijinan (SIPI
dan SIKPI) kapal ikan adalah hal yang sangat terkait dengan tidak
terlaporkannya kondisi armada penangkapan yang ril atau sesungguhnya di
Indonesia. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk membuat kebijakan berkenaan dengan
jumlah armada yang boleh beroperasi sebagai input control. Dalam kebijakan
pengelolaan perikanan tangkap selama ini masih diindikasikan belum efektif dalam
perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Terbukti
masih banyak ditemukan pengoperasian jaring arad/trawl yang dilarang. Temuan
diperoleh pengoperasian jaring arad/trawl memiliki kelemahan yaitu : a. memiliki
karakteristik mirip trawl dengan kecenderungan menguras semua jenis ikan, b. pemakaiannya
kurang memperhitungkan norma-norma lingkungan dengan daerah operasi di perairan
pantai 4 mil pada daerah yang padat dengan kapal, c. dapat memicu konflik
diantara pemakai alat tangkap lainnya, d. menyebabkan kerusakan ekosistem disekitarnya,
e. hasil tangkap ikan yang diperoleh memiliki kecenderungan yang kecil, f. alat
tangkap yang dilarang, g. Masih menggunakan bahan bakar campuran minyak tanah
dengan solar yang akan menyebabkan polusi berlebih.
Mengoptimalkan Secara Umum Petugas
Pengawas SDM
Secara
Umum Petugas Pengawas SDM (PSDKP) belum
berfungsi secara optimal. Selain itu di banyak daerah Kelompok Masyarakat
Pengawas (POKMASWAS) belum berfungsi dan belum berkoordinasi dengan PSDKP
dengan baik. POKMASWAS sendiri seharusnya dapat menjadi informasi awal yang
baik bagi kegiatan illegal yang dilakukan di laut, baik destructive fishing
maupun pelanggaran oleh negara lain.
Mengoptimalkan Kemampuan kapasitas
kelembagaan
Kemampuan
kapasitas kelembagaan pengawas perikanan masih terbatas, baik dari sisi sarana,
SDM, maupun dana operasionalnya. Hal ini menjadi salah satu kendala untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal, apalagi dengan cakupan wilayah
perikanan tangkap yang sangat luas, tentu memerlukan kapasitas kelembagaan
pengawasan perikanan yang kuat
Mengoptimalkan Pendidikan
Kondisi
SDM mayarakat nelayan yang mayoritas masih kurang baik. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya pendidikan formal yang sebagian besar disebabkan oleh sulitnya
sekolah atau akses di daerah pesisir. Kurangnya pendidikan ini berdampak sulitnya
masyarakat nelayan untuk menerima transfer ilmu maupun transfer teknologi, sehingga
sering terjadi pelanggaran
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Berbasis Komunitas.
Salah
satu usaha dalam pengelolaan sumberdaya secara lestasi ditempuh dengan jalan Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas. Dalam Pengelolaan Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas ini, yang dimaksud dengan masyarakat
adalah segenap komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam pemanfaatan dan pengeloaan sumberdaya pesisir dan lautan,
diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi dan kalangan
peneliti lainnya. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas dapat
diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada
masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek
kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi, dimana dalam pelaksanaannya terjadi
pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua level dalam
lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat)
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir (Dahuri et al, 2001)
Strategi
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem Pesisir dan Laut
Berdasarkan
analisis swot diperloeh bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem
laut berkelanjutan berada pada kondisi yang relatif stabil dan memungkinkan
untuk dikembangkan. Strategi pengembangan yang dilakukan pada strategi SO adalah
:
1. Penguatan
kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat pesisir
2. Pengembangan
kawasan konservasi (mangrove dan terumbu karang) menjadi kawasan wisata bahari
3. Pengelolaan
wilayah pesisir dan laut secara terpadu dari beberapa aspek penunjang
4. Memelihara
kawasan konservasi dengan melakukan pengawasan dan memberikan pemahaman kepada
pelaku pengelolaan sumberdaya
Strategi
pengembangan yang dilakukan pada strategi WO adalah :
1. Melakukan
rehabilitasi mangrove dan penanaman terumbu karang buatan dan transplantasi
karang
2. Melakukan
bantuan perkriditan dengan bunga rendah agar membantu perekonomian masyarakat
pesisir
3. Meningkatkan
mutu hasil tangkapan dengan melakukan pelatihan pengendalian mutu
4. Meningkatkan
peningkatan partisipasi masyarakat dengan melibatkan masyarakat pesisir dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan
Dilakukan
pada strategi ST adalah :
1. Penataan
ruang wilayah pesisir berwawasan lingkungan
2. Dilakukan
pengolahan limbah dari kegiatan usaha perikanan di sekitar daerah pesisir
3. Tidak
menggunakan bahan-bahan yang berbahaya yang dapat mencemari lingkungan pesisir
dalam pengolahan hasil perikanan di daerah pesisir
4. Dilakukan
pendampingan secara kontinue kepada pelaku usaha mengenai pengelolaan lingkungan
pesisir yang ramah lingkungan
5. Melakukan
pembatasan penangkapan pada daerah-daerah penangkapan ikan yang kritis
Strategi
pengembangan yang dilakukan pada strategi adalah :
1. Melakukan
proses pelelangan dalam setiap transaksi pejualan ikan melaluiTPI
2. Mengadakan
menyuluhan tentang penangkapan yang ramah lingkungan
3. Mengadakan
bantuan alat tangkap ramah lingkungan
4. Melakukan
pemahaman arti pentingkan pengelolaan pesisir dan laut berwawasan lingkungan
5. Melakukan
revitalisasi kawasan pesisir dan laut
6. Menjadikan
kawasan pesisir sebagai kawasan ekowisata sehingga dapat meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat pesisir
7. Meningkatkan
peran aktif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir dan laut
Penutupan musim penangkapan ikan dapat dilakukan
selama satu musim, beberapa musim, satu tahun atau beberapa tahun. Penutupan
musim penangkapan ikan dalamkurun waktu yang lama dilakukan jika sumberdaya
perikanan dalam kondisi sangat kritis, karena sudah sangat tinggi tingkat pemanfaatannya.
Tujuan dari kegiatan ini, supaya sumberdaya ikan memiliki kesempatan untuk
memperbaharui dirinya kembali pada kondisi yang lebih baik seperti awalnya. dinyatakan
dengan tegas dalam pasal 5 ayat (2) UU No 5 Tahun 1983, yang menyatakan bahwa
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan harus mentaati ketentuan
ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah
Indonesia. Ketentuan ini merupakan realisasi dari pasal 61 dan 62 konservasi
hukum laut yang menyatakan bahwa negara pantai Indonesian harus melaksanakan
konservasi dan pengelolaan
yang
tepat untuk menjamin terciptanya pemanfaatan secara optimal dan pelestarian sumberdaya
perikanan seutuhnya.
Kemudian tinjauan terhadap sistem pengaturan dalam
rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan mengandung
pengertian suatu kumpulan tindakan (aksi) yang terorganisir atau proses untuk mengarahkan
kegiatan pembangunan (manusia) sehari-hari yang berlangsung di kawasan pesisir
untuk mencapai suatu tujuan pegelolaan sumberdaya perikanan
(Dahuri
et al., 2001). Sedangkan undangundang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan
menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk memberikan manfaat
sebesar-besar bagi kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan (dengan tetap
terjaganya kelestarian sumberdaya).
Petrossian (2015) menyatakan bahwa kapasitas MCS
(Monitoring, Control and Surveillance) dan pengawasan yang ketat merupakan
variabel penting dalam mengendalikan tingkat IUU (Illegal, Unreported and
Unregulated) fishing yang terjadi di perairan suatu negara. MCS adalah semua
ketentuan yang harus dipenuhi terkait langkah-langkah dalam pengelolaan
perikanan dimana masing-masing elemen memiliki tujuan sebagai berikut: (1)
pemantauan (monitoring) untuk mengumpulkan informasi tentang perikanan yang
berguna dalam proses pengembangan selanjutnya, (2) controlling untuk menilai
langkah-langkah pengelolaan yang tepat, dan (3) dengan memanfaatkan informasi
yang diperoleh dilakukan pengawasan (surveillace) untuk memastikan agar kontrol
ini dapat dipatuhi. Manajemen perikanan modern diharapkan dapat menempatkan
strategi, perencanaan dan aktivitas MCS pada tempat yang lebih sentral dan
terintegrasi pada seluruh bagian manajemen perikanan sebagaimana yang tertera
pada Gambar 4.1 Hubungan Utama antara MCS dan Manajemen Perikanan.
Selain memperkuat MCS nasional, Johns (2013)
menyatakan bahwa rencana aksi satu negara (aksi regional) tidak mencukupi untuk
memperbaiki IUU fishing, sehingga diperlukan 'coordinated regional action'
dengan dukungan pembangunan berkapasitas internasional. Terkait dengan
'coordinated regional action', saat ini telah terbentuk aliansi regional maupun
internasional (seperti ASEAN-Wildlife Enforcement Network dan Regional Plan of
Action (RPOA-IUU) di Asia Tenggara).
Paradigma regulasi pluralistik tersebut dapat
memanfaatkan keterkaitan IUU fishing dan aktivitas kriminal transnasional untuk
mencapai hasil positif yang berlipat (Lindley dan Techera, 2017). Khusus di
wilayah Indonesia, telah disusun suatu Rancangan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2016-2020.
TINJUAN PUSTAKA
Dahuri, R. 2000.
Strategi dan Program Pengelolaan
Sumberdaya Pesisirdan Lautan Indonesia dalam Prosiding Pelatihan
untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB dan Proyek Pesisir, Bogor.
Dahuri, R.J
Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramitha, Jakarta.
Dinas Kelautan
dan Perikanan. 2002. Statistik Kelautan dan Perikanan. Tahun 2005.
Jakarta.
Economic
overfishing, biological overfishing, dan Malthusian overfishing. Suatu
bejana sehubungan mismanagement adalah kerugian sosial dan
ekonomi.
Harnods,
"Tentang Kami," Seafood Savers, , accessed May 17, 2018, http://www.seafoodsavers.org/tentang-kami/
Israel and
Caesar. 1997. Overfishing in the Philipine Commercial Marine Fisheres Sector.
Philipine Institute for Development Studies. Philipine
Murawski, S. A.
2000. Definitions of overfishing from an ecosystem perspective. ICES Journal
of Marine Science
Nikijuluw,
V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan. Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Purwanto. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Makalah
dalam Workshop Pengkajian
Sumberdaya Ikan. Masyarakat
Perikanan Nusantara, Jakarta
Riski Bayuni
Sagala, Efektivitas Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial Kampanye Sustainable
Seafood, WWF Indonesia, Skripsi, Institut Pertanian Bogor 2015.
Syamsudin. A.R.
1980. Pengantar Perikanan. Karya Nusantara. Jakarta.
Tuna Terancam
Punah, Pemerintah Giatkan Pengelolaan Berkelanjutan," KKP RSS2, accessed
March 03, 2018, http://kkp.go.id/2017/02/18/tuna-terancam-punah-pemerintah-giatkan
pengelolaan-berkelanjutan/.
.
.
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.