Breaking News
Loading...
Kamis, 09 Juli 2020


Overfishing yang berkaitan dengan dampak sejalan penangkapan (collateral impacts) dikenal dalam tiga bentuk, yaitu bentuk pertama adalah growth overfishing, terjadi ketika ikan ditangkap sebelum sempat tumbuh. Bentuk kedua yang dikenal dengan recruitment overfishing yang menyebabkan pengurangan banyaknya ikan muda yang memasuki daerah penangkapan. Recruitment overfishing dapat dihasilkan oleh 1) penurunan stok induk pemijah, yang menyebabkan jumlah telur yang dihasilkan semakin terbatas dan kemudian peremajaan; dan 2) akibat degradasi habitat yang mempengaruhi kawasan asuhan. Ketiga economic overfishing dan maximum sustainable yield yang diturunkan dari model produksi surplus (Schaefer dan Fox). Economic overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan melewati maksimum imbalan ekonomi (maximum economic yield). Pada model surplus produksi tidak membedakan antara growth dan recruitment overfishing tetapi lebih merupakan gabungan kedua proses tersebut ke dalam satu kategori biological overfishing secaraumum (Pauly, 1988)

Permasalahan perikanan seperti overfishing yang lainnya disebabkan oleh tindakan illegal, unreported, unregulated fishing (IUU Fishing) makin marak terjadi di laut Indonesia. Penangkapan secara ilegal menjadi penyebab utama terjadinya overfishing dan berkurangnya populasi ikan khususnya tuna di Indonesia. Laut Aceh dan Natuna menjadi area yang sering didatangi oleh nelayan asing, pada tahun 2014 sebuah kapal berbendera Thailand tertangkap mencuri ikan di laut Aceh. Selain mencuri ikan, nelayan asing itu juga merusak terumbu karang karena menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Permasalahan yang memicu overfishing ini seperti yang dikatakan Eckersley dalam Green Theory bahwa sifat manusia cenderung anthropocentric yaitu memberikan dampak kerusakan pada lingkungan dan dampak negatif bagi makhluk hidup lainnya karena cenderung dan berlebihan terhadap alam. Sifat manusia yang anthropocentric dengan melakukan illegal fishing, pelaku industri perikanan menjalankan perusahaannya dengan tidak bertanggung jawab dan tidak ramah lingkungan serta regulasi yang mendukung untuk terus mengeruk kekayaan alam menunjukan saat ini pemanfaatan lingkungan masih tertuju pada kepentingan manusia (human-centered) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mencari keuntungan dari alam. Jika pola seperti ini terus terjadi maka dunia dan negara-negara sepenuhnya tidak dapat menyelesaikan masalah ini dan bumi serta kekayaan alamnya akan rusak dan habis.

Untuk mengatasi hasil tangkapan yang cenderung mengalami penurunan dilakukan upaya-upaya pemulihan sumberdaya perikanan, antara lain :

1.      Penyuluhan tentang :

a.       Kondisi sumberdaya yang ada

b.      Jumlah alat tangkap optimum

c.       Akan adanya over fishing.

2.      Sosialisasi kegiatan-kegiatan pelestarian sumberdaya, melalui :

a.       Diversifikasi jenis alat tangkap dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.

b.      Pembatasan waktu penangkapan ikan agar memberi kesempatan pada ikan untuk melakukan pemijahan

c.       Zonasi wilayah penangkapan yang mengalami over fishing

Usaha-usaha yang diperlukan dalam pemulihan sumberdaya perikanan yang telah mengalami lebih tangkap (over fishing) ataupun kerusakan sumberdaya akibat pengelolaan yang tidak berwawasan lingkungan dapat dilakukan sesuai pendapat Nikijuluw (2002) yang menyatakan bahwa dalam pemulihan sumberdaya perikanan, usaha-usaha yang dapat dilakukan, antara

lain :

1. Penutupan musim penangkapan ikan

2. Penutupan daerah penangkapan ikan

3. Selektifitas alat tangkap ikan

4. Pelarangan alat tangkap ikan

5. Pengendalian upaya penangkapan ikan.

 

MCS (Monitoring, Control and Surveillance)

aktivitas-aktivitas overfishing dapat menimbulkan deplesi/penyusutan sumberdaya biota laut, merusak ekosistem daerah tangkapan, mengancam konservasi serta mengganggu keseimbangan ekologi laut, untuk itu diperlukan solusi yang tepat agar dapat melakukan mitigasi dan minimisasi dampak dari aktivitas pemancingan yang berlebihan tersebut. 

Petrossian (2015) menyatakan bahwa kapasitas MCS (Monitoring, Control and Surveillance) dan pengawasan yang ketat merupakan variabel penting dalam mengendalikan tingkat IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) fishing yang terjadi di perairan suatu negara. MCS adalah semua ketentuan yang harus dipenuhi terkait langkah-langkah dalam pengelolaan perikanan dimana masing-masing elemen memiliki tujuan sebagai berikut: (1) pemantauan (monitoring) untuk mengumpulkan informasi tentang perikanan yang berguna dalam proses pengembangan selanjutnya, (2) controlling untuk menilai langkah-langkah pengelolaan yang tepat, dan (3) dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dilakukan pengawasan (surveillace) untuk memastikan agar kontrol ini dapat dipatuhi. Manajemen perikanan modern diharapkan dapat menempatkan strategi, perencanaan dan aktivitas MCS pada tempat yang lebih sentral dan terintegrasi pada seluruh bagian manajemen perikanan.

Selain memperkuat MCS nasional, Johns (2013) menyatakan bahwa rencana aksi satu negara (aksi regional) tidak mencukupi untuk memperbaiki IUU fishing, sehingga diperlukan 'coordinated regional action' dengan dukungan pembangunan berkapasitas internasional. Terkait dengan 'coordinated regional action', saat ini telah terbentuk aliansi regional maupun internasional (seperti ASEAN-Wildlife Enforcement Network dan Regional Plan of Action (RPOA-IUU) di Asia Tenggara).

Paradigma regulasi pluralistik tersebut dapat memanfaatkan keterkaitan IUU fishing dan aktivitas kriminal transnasional untuk mencapai hasil positif yang berlipat (Lindley dan Techera, 2017). Khusus di wilayah Indonesia, telah disusun suatu Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2016-2020.

Seafood Savers

Dalam upayanya agar perikanan di Indonesia yang berkelanjutan dan mencegah terus berkurangnya populasi ikan tuna dari kepunahan WWF membuat sebuah program kerja yang bernama Seafood Savers. Program ini secara garis besar memiliki kegiatan memberikan asistensi kepada perusahaan dan nelayan agar menjalankan aktivitas industrinya bertanggung jawab dan ramah lingkungan, mengadvokasi kepada pemerintah terkait regulasi yang tidak merugikan alam dan memberikan edukasi kepada konsumen agar memilih produk perikanan yang baik

Selaras dengan pemahaman Green Theory bahwa dalam menyelesaikan masalah lingkungan ini negara bukan hanya satu-satunya aktor yang berpengaruh tetapi aktor lain seperti organisasi juga dapat berperan, dalam kasus ini contohnya adalah WWF-Indonesia. Green Theory berorientasi pada upaya desentralisasi mengutamakan aksi lokal daripada internasional “Think Globally and Act Locally” agar dapat lebih efektif dan efisien dalam menangani kerusakan lingkungan.

Mewujudkan kegiatan perikanan berkelanjutan di Indonesia adalah: 1) pengelolaan perikanan (fisheries management); 2) penegakan hukum (law enforcement); dan 3) pelaku usaha perikanan perikanan tangkap, banyak perairan laut di kawasan barat dan tengah Indonesia sudah menunjukkan gejala padat tangkap (overfishing), seperti Selat Malaka, perairan timur Sumatera, Laut Jawa, dan Selat Bali. Sementara, di perairan laut kawasan timur Indonesia, tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau masih underfishing

Untuk mengetahui akar permasalahan yang menghambat dalam mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan, maka dilakukan analisis berdasarkan sebab akibat dengan menggunakan diagram tulang ikan (fish-bone diagram). Diagram tersebut dianalisis berdasarkan hasil desk study, diskusi intensif dengan para pemangku kepentingan terkait (seperti: Kepala Pelabuhan Perikanan, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Kepala PSDKP di lokasi survei) dengan panduan kuisioner dan kunjungan lapangan.

Penegakan Kebijakan

Manipulasi ukuran tonage (GT) dan perijinan (SIPI dan SIKPI) kapal ikan adalah hal yang sangat terkait dengan tidak terlaporkannya kondisi armada penangkapan yang ril atau sesungguhnya di Indonesia. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk membuat kebijakan berkenaan dengan jumlah armada yang boleh beroperasi sebagai input control. Dalam kebijakan pengelolaan perikanan tangkap selama ini masih diindikasikan belum efektif dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Terbukti masih banyak ditemukan pengoperasian jaring arad/trawl yang dilarang. Temuan diperoleh pengoperasian jaring arad/trawl memiliki kelemahan yaitu : a. memiliki karakteristik mirip trawl dengan kecenderungan menguras semua jenis ikan, b. pemakaiannya kurang memperhitungkan norma-norma lingkungan dengan daerah operasi di perairan pantai 4 mil pada daerah yang padat dengan kapal, c. dapat memicu konflik diantara pemakai alat tangkap lainnya, d. menyebabkan kerusakan ekosistem disekitarnya, e. hasil tangkap ikan yang diperoleh memiliki kecenderungan yang kecil, f. alat tangkap yang dilarang, g. Masih menggunakan bahan bakar campuran minyak tanah dengan solar yang akan menyebabkan polusi berlebih.

 

Mengoptimalkan Secara Umum Petugas Pengawas SDM

Secara Umum Petugas Pengawas SDM  (PSDKP) belum berfungsi secara optimal. Selain itu di banyak daerah Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) belum berfungsi dan belum berkoordinasi dengan PSDKP dengan baik. POKMASWAS sendiri seharusnya dapat menjadi informasi awal yang baik bagi kegiatan illegal yang dilakukan di laut, baik destructive fishing maupun pelanggaran oleh negara lain.

Mengoptimalkan Kemampuan kapasitas kelembagaan

Kemampuan kapasitas kelembagaan pengawas perikanan masih terbatas, baik dari sisi sarana, SDM, maupun dana operasionalnya. Hal ini menjadi salah satu kendala untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal, apalagi dengan cakupan wilayah perikanan tangkap yang sangat luas, tentu memerlukan kapasitas kelembagaan pengawasan perikanan yang kuat
Mengoptimalkan Pendidikan

Kondisi SDM mayarakat nelayan yang mayoritas masih kurang baik. Hal ini disebabkan oleh rendahnya pendidikan formal yang sebagian besar disebabkan oleh sulitnya sekolah atau akses di daerah pesisir. Kurangnya pendidikan ini berdampak sulitnya masyarakat nelayan untuk menerima transfer ilmu maupun transfer teknologi, sehingga sering terjadi pelanggaran

 

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas.

Salah satu usaha dalam pengelolaan sumberdaya secara lestasi ditempuh dengan jalan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas. Dalam Pengelolaan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas ini, yang dimaksud dengan masyarakat adalah segenap komponen yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pemanfaatan dan pengeloaan sumberdaya pesisir dan lautan, diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi dan kalangan peneliti lainnya. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi, dimana dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah disemua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir (Dahuri et al, 2001)

 

Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem Pesisir dan Laut

Berdasarkan analisis swot diperloeh bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem laut berkelanjutan berada pada kondisi yang relatif stabil dan memungkinkan untuk dikembangkan. Strategi pengembangan yang dilakukan pada strategi SO adalah :

1.      Penguatan kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat pesisir

2.      Pengembangan kawasan konservasi (mangrove dan terumbu karang) menjadi kawasan wisata bahari

3.      Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu dari beberapa aspek penunjang

4.      Memelihara kawasan konservasi dengan melakukan pengawasan dan memberikan pemahaman kepada pelaku pengelolaan sumberdaya

Strategi pengembangan yang dilakukan pada strategi WO adalah :

1.      Melakukan rehabilitasi mangrove dan penanaman terumbu karang buatan dan transplantasi karang

2.      Melakukan bantuan perkriditan dengan bunga rendah agar membantu perekonomian masyarakat pesisir

3.      Meningkatkan mutu hasil tangkapan dengan melakukan pelatihan pengendalian mutu

4.      Meningkatkan peningkatan partisipasi masyarakat dengan melibatkan masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya perikanan

Dilakukan pada strategi ST adalah :

1.      Penataan ruang wilayah pesisir berwawasan lingkungan

2.      Dilakukan pengolahan limbah dari kegiatan usaha perikanan di sekitar daerah pesisir

3.      Tidak menggunakan bahan-bahan yang berbahaya yang dapat mencemari lingkungan pesisir dalam pengolahan hasil perikanan di daerah pesisir

4.      Dilakukan pendampingan secara kontinue kepada pelaku usaha mengenai pengelolaan lingkungan pesisir yang ramah lingkungan

5.      Melakukan pembatasan penangkapan pada daerah-daerah penangkapan ikan yang kritis

Strategi pengembangan yang dilakukan pada strategi adalah :

1.      Melakukan proses pelelangan dalam setiap transaksi pejualan ikan melaluiTPI

2.      Mengadakan menyuluhan tentang penangkapan yang ramah lingkungan

3.      Mengadakan bantuan alat tangkap ramah lingkungan

4.      Melakukan pemahaman arti pentingkan pengelolaan pesisir dan laut berwawasan lingkungan

5.      Melakukan revitalisasi kawasan pesisir dan laut

6.      Menjadikan kawasan pesisir sebagai kawasan ekowisata sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat pesisir

7.      Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya di kawasan pesisir dan laut

Penutupan musim penangkapan ikan dapat dilakukan selama satu musim, beberapa musim, satu tahun atau beberapa tahun. Penutupan musim penangkapan ikan dalamkurun waktu yang lama dilakukan jika sumberdaya perikanan dalam kondisi sangat kritis, karena sudah sangat tinggi tingkat pemanfaatannya. Tujuan dari kegiatan ini, supaya sumberdaya ikan memiliki kesempatan untuk memperbaharui dirinya kembali pada kondisi yang lebih baik seperti awalnya. dinyatakan dengan tegas dalam pasal 5 ayat (2) UU No 5 Tahun 1983, yang menyatakan bahwa eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan harus mentaati ketentuan ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Ketentuan ini merupakan realisasi dari pasal 61 dan 62 konservasi hukum laut yang menyatakan bahwa negara pantai Indonesian harus melaksanakan konservasi dan pengelolaan

yang tepat untuk menjamin terciptanya pemanfaatan secara optimal dan pelestarian sumberdaya perikanan seutuhnya.

Kemudian tinjauan terhadap sistem pengaturan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan mengandung pengertian suatu kumpulan tindakan (aksi) yang terorganisir atau proses untuk mengarahkan kegiatan pembangunan (manusia) sehari-hari yang berlangsung di kawasan pesisir untuk mencapai suatu tujuan pegelolaan sumberdaya perikanan

(Dahuri et al., 2001). Sedangkan undangundang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan ditujukan untuk memberikan manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan (dengan tetap terjaganya kelestarian sumberdaya).

Petrossian (2015) menyatakan bahwa kapasitas MCS (Monitoring, Control and Surveillance) dan pengawasan yang ketat merupakan variabel penting dalam mengendalikan tingkat IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) fishing yang terjadi di perairan suatu negara. MCS adalah semua ketentuan yang harus dipenuhi terkait langkah-langkah dalam pengelolaan perikanan dimana masing-masing elemen memiliki tujuan sebagai berikut: (1) pemantauan (monitoring) untuk mengumpulkan informasi tentang perikanan yang berguna dalam proses pengembangan selanjutnya, (2) controlling untuk menilai langkah-langkah pengelolaan yang tepat, dan (3) dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dilakukan pengawasan (surveillace) untuk memastikan agar kontrol ini dapat dipatuhi. Manajemen perikanan modern diharapkan dapat menempatkan strategi, perencanaan dan aktivitas MCS pada tempat yang lebih sentral dan terintegrasi pada seluruh bagian manajemen perikanan sebagaimana yang tertera pada Gambar 4.1 Hubungan Utama antara MCS dan Manajemen Perikanan.

Selain memperkuat MCS nasional, Johns (2013) menyatakan bahwa rencana aksi satu negara (aksi regional) tidak mencukupi untuk memperbaiki IUU fishing, sehingga diperlukan 'coordinated regional action' dengan dukungan pembangunan berkapasitas internasional. Terkait dengan 'coordinated regional action', saat ini telah terbentuk aliansi regional maupun internasional (seperti ASEAN-Wildlife Enforcement Network dan Regional Plan of Action (RPOA-IUU) di Asia Tenggara).

Paradigma regulasi pluralistik tersebut dapat memanfaatkan keterkaitan IUU fishing dan aktivitas kriminal transnasional untuk mencapai hasil positif yang berlipat (Lindley dan Techera, 2017). Khusus di wilayah Indonesia, telah disusun suatu Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2016-2020.

 

TINJUAN PUSTAKA

 

Dahuri, R. 2000. Strategi dan Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisirdan Lautan Indonesia dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB dan Proyek Pesisir, Bogor.

 

Dahuri, R.J Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramitha, Jakarta.

 

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2002. Statistik Kelautan dan Perikanan. Tahun 2005. Jakarta.

 

Economic overfishing, biological overfishing, dan Malthusian overfishing. Suatu bejana sehubungan mismanagement adalah kerugian sosial dan ekonomi.

 

Harnods, "Tentang Kami," Seafood Savers, , accessed May 17, 2018, http://www.seafoodsavers.org/tentang-kami/

 

Israel and Caesar. 1997. Overfishing in the Philipine Commercial Marine Fisheres Sector. Philipine Institute for Development Studies. Philipine

 

Murawski, S. A. 2000. Definitions of overfishing from an ecosystem perspective. ICES Journal of Marine Science

 

Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pustaka Cidesindo, Jakarta.

 

Purwanto. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Makalah dalam Workshop Pengkajian Sumberdaya Ikan. Masyarakat Perikanan Nusantara, Jakarta

 

Riski Bayuni Sagala, Efektivitas Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial Kampanye Sustainable Seafood, WWF Indonesia, Skripsi, Institut Pertanian Bogor 2015.

 

Syamsudin. A.R. 1980. Pengantar Perikanan. Karya Nusantara. Jakarta.

 

Tuna Terancam Punah, Pemerintah Giatkan Pengelolaan Berkelanjutan," KKP RSS2, accessed March 03, 2018, http://kkp.go.id/2017/02/18/tuna-terancam-punah-pemerintah-giatkan pengelolaan-berkelanjutan/.

 

.

 

 

 

 

.

 

 


Next
This is the most recent post.
Posting Lama

0 komentar:

Posting Komentar